Menurut  Sritua Arief (1997), ada tiga pendapat yang hidup di kalangan  masyarakat mengenai eksistensi unit usaha koperasi dalam sistem ekonomi  Indonesia. mengutarakan perlunya mengkaji ulang apakah koperasi masih  perlu dipertahankan keberadaannya dalam kegiatan ekonomi.
Bahwa unit usaha koperasi dipandang perlu untuk dipertahankan sekadar untuk tidak dianggap menyeleweng dari UUD 1945.
Bahwa  koperasi sebagai organisasi ekonomi rakyat yang harus dikembangkan  menjadi unit usaha yang kukuh dalam rangka proses demokratisasi ekonomi.
Ketiga  pendapat yang hidup itu, sedikit-banyak telah mempengaruhi arah  perubahan dan permasalahan koperasi di Indonesia, baik secara makro  (ekonomi politik), maupun secara mikro ekonomi. Dalam bagian ini, akan  dibahas permasalahan-permasalahan dalam koperasi dan environment-nya, sebagai unit usaha yang hidup ditengah sistem dan paradigma ekonomi Indonesia.
Koperasi dan Kontradiksi Paradigma Perekonomian Indonesia
Ketika negara Republik Indonesia ini didirikan, para founding fathers  memimpikan suatu negara yang mampu menjamin hajat hidup orang banyak  dan diusahakan secara bersama. Hal itu, tidak mengherankan, sebab  pemikiran dan gerakan sosialisme memang sedang menjadi trend  pada waktu itu, untuk melawan para pengusaha kapitalis dan kolonialis  yang dianggap membawa penderitaan di kalangan buruh, tani dan rakyat  kecil lainnya.
Tampak  bahwa cita-cita membentuk negara Republik Indonesia, adalah untuk  kemakmuran semua orang dengan bangun usaha yang diusahakan secara  bersama; “koperasi”. Karena itu, kemudian, dalam penjelasan Pasal 33 UUD  1945 disebutkan, “…Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan  kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha  bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai  dengan itu ialah koperasi”.
Koperasi dalam Dualisme Sistem Ekonomi Indonesia.
Menurut Hatta (1963), sosialisme Indonesia timbul karena tiga faktor. Pertama, sosialisme Indonesia timbul karena suruhan agama.  Etik agama yang menghendaki persaudaraan dan tolong menolong antara  sesama manusia dalam pergaulan hidup, mendorong orang ke sosialisme.  Kemudian, perasaan keadilan yang menggerakkan jiwa berontak terhadap  kesengsaraan hidup dalam masyarakat,terhadap keadaan yang tidak sama dan  perbedaan yang mencolok antara si kaya dan si miskin, menimbulkan  konsepsi sosialisme dalam kalbu manusia. Jadi, sosialisme Indonesia  muncul dari nilai-nilai agama, terlepas dari marxisme. Sosialisme memang  tidak harus merupakan marxisme. Sosialisme disini tidak harus diartikan  sebagai hasil hukum dialektika, tetapi sebagai tuntutan hati nurani,  sebagai pergaulan hidup yang menjamin kemakmuran bagi segala orang,  memberikan kesejahteraan yang merata, bebas dari segala tindasan.
Kedua, sosialisme Indonesia merupakan ekspresi daripada jiwa berontak bangsa Indonesia  yang memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil dari si penjajah.  Karena itu dalam Pembukaan UUD 1945 dikatakan bahwa sesungguhnya  kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka  penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan  perikemanusiaan dan perikeadilan. Lebih lanjut Pembukaan UUD 1945 juga  mengatakan, “…mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang  kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur“.
Ketiga, para pemimpin Indonesia yang tidak dapat menerima marxisme sebagai pandangan yang berdasarkan materialisme, mencari sumber-sumber sosialisme dalam masyarakat sendiri.  Bagi mereka, sosialisme adalah suatu tuntutan jiwa, kemauan hendak  mendirikan suatu masyarakat yang adil dan makmur, bebas dari segala  tindasan. Sosialisme dipahamkan sebagai tuntutan institusional, yang  bersumber dalam lubuk hati yang murni, berdasarkan perikemanusiaan dan  keadilan sosial. Agama menambah penerangannya. Meskipun dalam ekonomi  modern gejala individualisasi berjalan, tetapi hal itu tidak dapat  melenyapkan sifat perkauman (kolektivan) di dalam adat (dan hukum adat)  Indonesia. Ini adalah akar dalam pergaulan hidup Indonesia.
Jadi, dasar ekonomi Indonesia adalah sosialisme yang berorientasi kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa (adanya etik dan moral agama, bukan materialisme); kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan/eksploitasi manusia); persatuan (kekeluargaan, kebersamaan, nasionalisme dan patriotisme ekonomi); kerakyatan (mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak); serta keadilan sosial (persamaan, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang).
Tetapi,  setelah menempuh alam kemerdekaan, terlebih pada era Orde Baru,  paradigma yang berkembang dan dijalankan tidaklah demikian. Paradigma  yang dijalankan dengan “sungguh-sungguh” adalah apa yang disebut  Mubyarto dengan istilah “kapitalistik-liberal-perkoncoan” (selanjutnya  disebut “KLP), atau dalam istilah Sri-Edi Swasono (1998a)  disebut “rezim patronasi bisnis”, yang sesungguhnya lebih jahat dari  kapitalisme kuno yang dikritik oleh Marx dalam bukunya “Das Kapital”.  Sistem KLP tersebut menyebabkan tumbuh suburnya praktik kolusi, korupsi,  kroniisme dan nepotisme (KKKN) dalam perekonomian Indonesia.
Dalam  sistem hukum pun, masih banyak perangkat peraturan yang belum dijiwai  semangat demokrasi ekonomi sebagaimana disebutkan pada Pasal 33 UUD  1945. Permasalahan sistem hukum yang mixed-up ini, telah  mempengaruhi moral ekonomi dan motif ekonomi para pelaku ekonomi  Indonesia, sehingga akhirnya justru memarjinalkan koperasi yang  seharusnya menjiwai bangun perusahaan lainnya.
Jadi,  permasalahan mendasar koperasi Indonesia terletak pada paradigma yang  saling bertolak belakang antara apa yang dicita-citakan (Das Sollen) dan apa yang sesungguhnya terjadi (Das Sein). Selama paradigma ini tidak dibenahi, niscaya koperasi tidak akan dapat berkembang, ia hanya menjadi retorika.
Permasalahan Makroekonomi (Ekonomi Politik).
Tidak banyak negara yang memiliki “Departemen Koperasi” (Depkop). Indonesia adalah satu dari sedikit negara tersebut. 
Hal  itu terjadi karena adanya kontradiksi akut dalam pemahaman koperasi.  Secara substansial koperasi adalah gerakan rakyat untuk memberdayakan  dirinya. Sebagai gerakan rakyat, maka koperasi tumbuh dari bawah (bottom-up)  sesuai dengan kebutuhan anggotanya. Hal itu sangat kontradiktif dengan  eksistensi Depkop. Sebagai departemen, tentu Depkop tidak tumbuh dari  bawah, ia adalah alat politik yang dibentuk oleh pemerintah. Jadi,  Depkop adalah datang “dari atas” (top-down). Karena itu, lantas dalam menjalankan operasinya, Depkop tetap dalam kerangka berpikir top-down.  Misalnya dalam pembentukan koperasi-koperasi unit desa (KUD) oleh  pemerintah. Padahal, rakyat sendiri belum paham akan gunanya KUD bagi  mereka, sehingga akhirnya KUD itu tidak berkembang dan hanya menjadi  justifikasi politik dari pemerintah agar timbul kesan bahwa pemerintah  telah peduli pada perekonomian rakyat, atau dalam hal ini khususnya  koperasi.
Hal  lain yang menandakan kontradiksi akut itu, adalah pada usaha Depkop  (dan tampaknya masih terus dilanjutkan sampai saat ini oleh kantor  menteri negara koperasi) untuk “membina” gerakan koperasi. Penulis  sungguh tidak mengerti mengapa istilah “membina” tersebut sangat  digemari oleh para pejabat pemerintahan. Sekali lagi, koperasi adalah  gerakan rakyat yang tumbuh karena kesadaran kolektif untuk memperbaiki  taraf hidupnya. Karena itu penggunaan kata (atau malah paradigma)  “membina” sangatlah tidak tepat dan rancu. Koperasi tidak perlu  “dibina”, apalagi dengan fakta bahwa “pembinaan” pemerintah selama ini  tidak efektif. Yang diperlukan koperasi adalah keleluasaan untuk  berusaha; untuk akses memperoleh modal, pangsa pasar, dan input (bahan  baku).
Permasalahan Mikroekonomi. 
· Masalah Input. 
Dalam  menjalankan kegiatan usahanya koperasi sering mengalami kesulitan untuk  memperoleh bahan baku. Salah satu bahan baku pokok yang sulit diperoleh  adalah modal. Yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah  permodalan ini adalah dengan memberikan keleluasaan bagi koperasi dalam  akses memperoleh modal. Jangan dipersuli-sulit dengan bermacam regulasi.  Biarkan koperasi tumbuh dengan alami (bukan direkayasa), belajar  menjadi efisien dan selanjutnya dapat bertahan dalam kompetisi.
Pada  sisi input sumber daya manusia, koperasi mengalami kesulitan untuk  memperoleh kualitas manajer yang baik. Di sinilah campur tangan  pemerintah diperlukan untuk memberikan mutu modal manusia yang baik bagi  koperasi.
Masalah Output, Distribusi dan Bisnis.
· Kualitas output. 
Dalam  hal kualitas, output koperasi tidak distandardisasikan, sehingga secara  relatif kalah dengan output industri besar. Hal ini sebenarnya sangat  berkaitan dengan permasalahan input (modal dan sumberdaya manusia).
· “Mapping Product”. 
Koperasi  (dan usaha kecil serta menengah/UKM) dalam menentukan output tidak  didahului riset perihal sumber daya dan permintaan potensial (potential demand)  daerah tempat usahanya. Sehingga, dalam banyak kasus, output koperasi  (dan UKM) tidak memiliki keunggulan komparatif sehingga sulit untuk  dipasarkan.
· Distribusi, Pemasaran dan Promosi (Bisnis).
Koperasi mengalami kesulitan dalam menjalankan bisnisnya. Output yang dihasilkannya tidak memiliki jalur distribusi yang established,  serta tidak memiliki kemampuan untuk memasarkan dan melakukan promosi.  Sehingga, produknya tidak mampu untuk meraih pangsa pasar yang cukup  untuk dapat tetap eksis menjalankan kegiatan usahanya.
Peranan  pemerintah sekali lagi, diperlukan untuk menyediakan sarana distribusi  yang memadai. Sarana yang dibentuk pemerintah itu, sekali lagi, tetap  harus dalam pemahaman koperasi sebagai gerakan rakyat, sehingga jangan  melakukan upaya-upaya “pengharusan” bagi koperasi untuk memakan sarana  bentukan pemerintah itu. dalam aspek bisnis, koperasi –karena  keterbatasan input modal—sulit untuk melakukan pemasaran (marketing) dan promosi (promotion). Karena itu, selaras dengan mapping product  seperti diuraikan diatas, pemerintah melanjutkannya dengan  memperkenalkan produk-produk yang menjadi unggulan dari daerah itu.  Dengan demikian, output koperasi dapat dikenal dan permintaan potensial (potential demand) dapat menjadi permintaan efektif (effective demand
Dikutip dari : http://sawungjati.wordpress.com/ 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar